Jakarta, Kabar burung seputar imunisasi banyak
berseliweran, tapi rata-rata masyarakat mempercayai begitu saja kabar
tersebut tanpa mencari tahu kebenarannya. Apa saja mitos-mitos seputar
imunisasi tersebut?
Imunisasi sangat penting
sebagai pencegahan terhadap penyakit yang belum ada obatnya, penyakit
mematikan atau dapat menimbulkan kecacatan serta melibatkan orang
banyak. Selain itu imunisasi juga berguna untuk melindungi anak,
menurunkan kejadian penyakit menular di masyarakat serta menjaga
keluarga dan anak-anak tetap sehat.
Kadang-kadang akibat mitos yang beredar di masyarakat banyak orangtua
yang tidak memberikan anaknya imunisasi, karena takut anaknya terkena
autis atau sakit setelah melakukan suatu imunisasi.
Berikut beberapa mitos seputar imunisasi:
1. Vaksin MMR (measles, mumps dan rubella) bisa menyebabkan anak autis.
“Tidak ada hubungan antara vaksin MMR dengan perkembangan autis, ini
sudah dibuktikan melalui penelitian ilmiah,” ujar Dr. Jeffry Senduk, SpA
dalam acara seminar mengenai imunisasi pada anak di Siloam Hospital
Kebon Jeruk, Jakarta.
Dr. Jeffry menambahkan biasanya gejala autis pertama kali terlihat
saat bayi berusia 12 sampai 18 bulan, dimana hampir bersamaan dengan
diberikannya vaksin MMR. Kebanyakan autis disebabkan oleh factor
genetic, jadi jangan takut untuk memberikan vaksin MMR pada anak.
2. Terlalu banyak vaksin akan membebani sistem imun.
Mitos ini tidak benar, karena meskipun jumlah suntikan vaksin
meningkat tapi jumlah antigen telah menurun. Selain itu sistem imun
manusia memberikan respons terhadap ratusan antigen dalam kehidupan
setiap hari.
“Berbagai penelitian tidak memperlihatkan meningkatnya penyakit
infeksi setelah adanya imunisasi,” ujar dokter yang berpraktik di Siloam
Hospital Kebun Jeruk ini.
3. Tidak boleh memberikan ASI sesudah vaksin polio.
Dr. Jeffry mengatakan anak yang diberikan vaksin polio boleh langsung
diberikan ASI. Jika anak muntah sesudah imunisasi polio, maka imunisasi
bisa diberikan kembali setelah 10 menit dengan dosis yang sama.
4. Anak sakit flu tidak boleh diimunisasi.
Jika anak hanya sakit flu yang ringan maka boleh saja dilakukan
imunisasi, asalkan anak tidak demam dan tidak rewel. Jika bayi sangat
rewel maka tunda melakukan imunisasi 1 hingga 2 minggu.
5. Lebih baik memberi natural infeksi dibanding dengan vaksinasi.
Mitos ini tidak benar. “Suatu penyakit bisa mengakibatkan kematian
serta kecacatan yang permanen, dan dengan melakukan vaksinasi dapat
memberikan perlindungan tanpa efek samping yang berat,” ujar Dr. Jeffry.
6. Sesudah imunisasi tidak akan tertular penyakit tersebut.
Tidak ada vaksinasi yang memberikan perlindungan terhadap suatu
penyakit secara 100 persen. Bayi atau anak yang telah melakukan
imunisasi masih ada kemungkinan yang sangat kecil untuk bisa tertular
penyakit tersebut, namun akan jauh lebih ringan dibandingkan dengan anak
yang tidak diimunisasi. Sehingga kemungkinan untuk bisa disembuhkan
jauh lebih besar.
7. Jika saat balita sudah diimunisasi lengkap, di sekolah tidak perlu imunisasi lagi.
Ada beberapa imunisasi yang harus diulang saat sekolah dasar yaitu
imunisasi campak dan DT saat kelas 1 dan imunisasi TT saat kelas 2, 3
dan 6. Karena banyak anak yang sudah divaksin waktu bayi ternyata pada
umur 5 sampai 7 tahun 28,3 persen terkena campak, pada umur lebih dari
10 tahun terkena difteria, serta untuk pemberantasan tetanus dibutuhkan 5
kali suntikan TT sejak bayi hingga dewasa sehingga kekebalan pada umur
dewasa bisa berlangsung hingga 20 tahun lagi.
Anda jangan langsung percaya terhadap semua kabar burung yang beredar
mengenai imunisasi, sebaiknya cari tahu penjelasannya melalui
situs-situs ilmiah di internet atau berkonsultasi dengan dokter anak
Anda.
Sumber:
http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/197-mitos-seputar-imunisasi
Belum ada tanggapan untuk "Mitos Seputar Imunisasi"
Posting Komentar